Fact Check with KALM: Mitos dan Fakta Pelecehan Seksual

Description

KALMers, pelecehan atau kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Di Indonesia sendiri kasus pelecehan dan kekerasan seksual bukanlah hal yang baru. Setiap tahunnya ada banyak sekali kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang diberitakan. Belum lagi yang tidak terekspos media. Namun sejalan dengan hal itu, kasus semacam ini bukannya mendapat perhatian khusus tapi justru seolah dianggap lumrah dan dinormalisasi.

Hal tersebut dikarenakan belum banyak orang yang paham akan hal ini. Seperti yang sudah-sudah, kebanyakan kasus pelecehan atau kekerasan seksual dianggap akibat dari perilaku atau penampilan korban sendiri. Ironis, bukan? Memangnya benar begitu? Yuk, bersama-sama kita cek faktanya!

Mitosnya…

1. “Seseorang dilecehkan karena penampilannya yang mengundang nafsu.”

Faktanya: Kejahatan seksual adalah kejahatan yang terjadi karena adanya kesempatan dan perasaan berkuasa pelaku. Studi bahkan sudah menunjukkan bahwa pemerkosa memilih korban berdasarkan kerentanan mereka, bukan pada seberapa seksi penampilan atau seberapa genit korban. Ketika pelaku merasa ia lebih memiliki kendali terhadap korban maka kejahatan seksual sangat mungkin terjadi.

2. “Tidak ada istilah pemerkosaan dalam pernikahan.”

Faktanya: Serangan seksual dapat dilakukan dalam semua jenis hubungan, termasuk dalam pernikahan, hubungan pacaran, atau oleh teman, kenalan, atau rekan kerja. Hanya karena kamu sudah menikah dengan pasanganmu dan sudah pernah berhubungan seks sebelumnya, hal ini tidak memberikan mereka hak abadi atas tubuh kamu. Jika pasangan atau pacarmu ‘memaksa’ seks tanpa seizin (consent) dan keinginanmu, itu adalah pemerkosaan!

3. “Jika korban tidak melawan, berarti bukan kejahatan seksual.”

Faktanya: Menurut Jessica Klein, seorang pekerja sosial klinis di University of Southern California, selama serangan seksual, bagian otak yang merespon rasa takut berada dalam mode hyperreactive. Selama trauma, sistem limbik (bagian otak yang memproses emosi dan bertanggung jawab atas mekanisme perlawanan) akan mengambil alih bagian logis otak kita. Alhasil respon yang terjadi adalah freeze (membatu). Nah, respon inilah yang disalahgunakan oleh pelaku. Jadi bukan tidak melawan, ya tapi memang sedang tidak bisa melawan.

4. “Kebanyakan kasus pelecehan seksual dilakukan oleh orang tidak dikenal.”

Faktanya: Sebagian besar serangan seksual dilakukan oleh seseorang yang dikenal korban seperti tetangga, teman, kenalan, rekan kerja, teman sekelas, pacar, pasangan, atau mantan pasangan. Studi menunjukkan bahwa sekitar 80% wanita yang melaporkan kejahatan seksual mengenal pelakunya.

5. “Hanya perempuan berusia muda yang jadi korban pelecehan seksual.”

Faktanya: Keyakinan bahwa hanya wanita muda dan cantik yang diserang secara seksual berasal dari mitos bahwa kekerasan seksual didasarkan pada nafsu semata (di poin pertama). Padahal bukan, KALMers! Kejahatan seksual adalah kejahatan yang dipicu perasaan berkuasa dan punya kendali pelaku. Pelaku cenderung memilih korban yang mereka anggap rentan untuk diserang atau yang mereka yakini dapat mereka kuasai. 

Korban kekerasan seksual bisa berasal dari berbagai kalangan, dari yang berusia muda hingga tua, laki-laki atau perempuan, bahkan penyandang disabilitas juga mengalami pelecehan seksual. Asumsi bahwa korban kekerasan seksual ‘pasti perempuan usia muda’ justru dapat mengisolasi para korban. Mereka yang bukan berasal dari kategori tersebut merasa tidak akan dipercaya karena tidak memiliki karakteristik stereotip korban kekerasan seksual.

6. “Kebanyakan pelecehan seksual hanyalah sebuah kesalahpahaman atau kekhilafan.”

Faktanya: Serangan seksual adalah tindakan kriminal, bukan semata-mata hanya kekhilafan. Itu tidak terjadi karena miskomunikasi antara dua orang. Kekerasan seksual adalah setiap bentuk kontak seksual yang tidak diinginkan korban yang diperoleh tanpa persetujuan (consent) dengan melakukan kekerasan, ancaman, intimidasi, atau paksaan.

7. “Jika benar terjadi pelecehan/kekerasan seksual korban seharusnya merespon dengan berteriak.”

Faktanya: Korban kekerasan seksual menunjukkan spektrum respons yang berbeda-beda terhadap serangan seksual seperti: tenang, histeris, menarik diri, marah, penyangkalan, dan syok. Dilecehkan secara seksual adalah pengalaman yang sangat traumatis. Reaksi terhadap serangan dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memprosesnya berbeda-beda pada setiap orang. Tidak ada cara yang benar atau salah untuk bereaksi terhadap serangan seksual. Asumsi tentang cara seorang korban ‘seharusnya merespon seperti ini’ hanya akan merugikan korban karena setiap korban mengatasi trauma dengan cara yang berbeda dan bervariasi dari waktu ke waktu.

Nah, bagaimana menurutmu, KALMers? Jangan lupa untuk share artikel ini jika dirasa bermanfaat!

Baca juga: Caramu Membantu Mereka yang Mengalami Pelecehan SeksualKetika Kita Mengalami Pelecehan Seksual, dan Cerita Kalmselor: Efek Catcalling pada Psikologis Korban!

Jika kamu atau orang di sekitarmu mengalami hal ini, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Kamu bisa mencoba menghubungi Kalmselor di Aplikasi KALM (unduh di sini) saat kamu merasa siap bercerita. KALM ada karena kita perlu cerita.

 

Penulis: Rachma Fitria

Editor: Lukas Limanjaya

Sumber:

Georgetown Law University. (n.d). Myths and facts about sexual assault. Georgetown Law University: https://www.law.georgetown.edu/your-life-career/health-fitness/sexual-assault-relationship-violence-services/myths-and-facts-about-sexual-violence/

Baca Artikel Lainnya

Hati-hati Infantilization: Ketika Pasangan Memperlakukanmu Seperti Bocah

Selama ini mungkin kita senang ketika dimanjakan oleh pasangan. Semakin memanjakan semakin terasa romantis. Tapi, ternyata ada kalanya ketika sikap memanjakan ini dilakukan bukan karena pasangan ki...

Career Shifting Gen-Z & Millennial Demi Passion & Kepuasan Pribadi

Generasi Z dan milenial dikenal dengan sifat mereka yang dinamis dan cenderung tidak takut untuk berpindah karier demi mengejar kepuasan pribadi dan profesional. Bener nggak, KALMers? Nah, salah sa...

Bahaya Screen Time Berlebihan Bagi Anak

Di era digital saat ini, teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita, termasuk anak-anak. Gadget seperti smartphone, tablet, dan komputer sering digunakan untuk hiburan,...