KALMers, tahukah kamu angka kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Indonesia saat ini masih sangat tinggi, lho! Dari data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2021, kasus KDRT mendominasi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 74 persen dari total laporan 8.803 kasus. Belum lagi kasus-kasus yang tidak dilaporkan.
Hal tersebut tentu sangat memprihatinkan mengingat rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi neraka bagi penghuninya. Lantas, mengapa hal ini bisa terus-menerus terjadi?
Kamu mungkin sering mendengar kisah perempuan korban kekerasan yang memilih untuk bertahan dan tidak melaporkan pelaku. Ada yang bertahan karena menganggap hal tersebut adalah aib yang harus sembunyikan, ada juga yang bertahan karena merasa masih cinta. Walaupun ia sadar akan kembali disakiti saat bersama pelakunya, tetapi ia memilih diam. Kedua alasan tersebut nampak tidak masuk akal bukan? Tapi tunggu dulu! Akan jadi masuk akal jika kamu menyimak artikel ini!
Trauma bonding (ikatan trauma) adalah keterikatan emosional antara korban pelecehan atau kekerasan terhadap pelakunya. Kondisi ini membuat korban terus-menerus ingin membangun hubungan dengan pelaku bahkan setelah ia dilecehkan atau disakiti. Trauma bonding ini biasanya didasari oleh rasa simpati dan cinta korban terhadap pelaku, KALMers.
Selain itu, hal ini juga bisa terbentuk karena hasil dari manipulasi si pelaku. Setiap kali KDRT terjadi pelaku akan mengungkapkan rasa bersalahnya, menyatakan cinta, penyesalan, dan mencoba membuat hubungan kembali bagi korban. Hal ini membuat korban luluh dan kembali pada si pelaku.
Baca juga: KATANYA CINTA: Kekerasan Oleh Pasangan
Beberapa tanda seseorang mengalami trauma bonding:
Trauma bonding muncul sebagai hasil interaksi dari attachment style yang tidak sehat, dependensi, dan juga Cycle of Abuse (Lingkaran/Pola Kekerasan). Manusia membangun attachment (ikatan) sebagai cara untuk bertahan hidup -seorang anak yang membutuhkan orang tua maupun orang dewasa yang membutuhkan pasangan. Ketika tempat ia bergantung ternyata adalah pelaku kekerasan, trauma bonding dapat terbentuk. Apalagi jika kekerasan tersebut sudah membentuk sebuah siklus. Setelah melakukan KDRT, pelaku mungkin berjanji untuk berubah dan berlaku baik untuk menebus perilaku mereka. Hal ini memberikan harapan kepada korban bahwa penderitaan mereka akan berakhir dan suatu hari mereka akan menerima cinta yang telah dijanjikan oleh pelaku. Penyesalan pelaku juga dapat menyebabkan korban merasa bersyukur, terutama jika mereka telah terbiasa dengan perlakuan yang buruk. Hal inilah yang memperkuat trauma bonding.
Baca juga: Tipe Attachment Styles, Cari Tahu Punyamu! dan Codependent Relationship: Apa itu & Bagaimana Tandanya?
Dampak terburuk dari trauma bonding adalah bahwa perasaan positif yang dikembangkan untuk pelaku dapat membuat korban tetap berada dalam situasi yang abusive. Itu dapat menyebabkan kekerasan dan pelecehan yang berkelanjutan tanpa henti. Bahkan dampak paling buruknya adalah kematian akibat kekerasan yang dialami.
Tidak hanya itu, trauma bonding juga dapat menyebabkan korban KDRT rentan mengalami berbagai kondisi psikologis mulai dari trauma lanjutan hingga harga diri yang rendah. Selain itu, efek samping dari trauma bonding dapat mencakup depresi dan kecemasan klinis. Trauma bonding juga dapat meningkatkan kemungkinan siklus pelecehan atau kekerasan antar generasi.
Menghilangkan trauma bonding tentu bukanlah hal yang mudah, KALMers. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Jadi apa yang bisa kita lakukan?
Harapan bahwa pelaku kekerasan akan berubah adalah salah satu faktor penyebab trauma bonding. Setiap kali siklus kekerasan terjadi, renungkan sejenak untuk mengakui apa yang sedang terjadi dan dampaknya bagi diri sendiri. Tuhan menugaskan setiap makhluknya untuk menjaga dan melindungi diri, jika pasanganmu justru melukaimu berarti hal tersebut tidak bisa dibenarkan apapun alasannya.
Ingat bahwa perilaku seseorang adalah tanggung jawab orang itu sendiri; pukulan, kata-kata kasar, atau hal-hal lainnya. Kamu sebagai korban tidak pantas disalahkan atas perilaku kasar pelaku.
Manipulasi sering dilakukan oleh pelaku kekerasan. Oleh karenanya bukti diperlukan. Tidak hanya untuk membuat orang lain percaya bahwa pasanganmu abusive, tetapi juga mengingatkan dirimu sendiri untuk percaya bahwa apa terjadi bukanlah salahmu. Kamu adalah korban yang layak mendapat perlindungan.
Safety plan dapat mencakup langkah-langkah yang dapat diambil untuk melindungi diri baik secara fisik dan emosional. Rencana tersebut dapat mencakup:
Rantai trauma bonding tidak akan mudah untuk dipecahkan. Saat kamu mulai kesulitan mengatasinya, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Konselor dapat dapat mengajarimu tentang pola pelecehan dan kekerasan yang mendorong trauma bonding, dan hal-hal yang bisa kamu lakukan.
Kalmselor di aplikasi KALM (unduh di sini) dapat membantumu menjelajahi faktor-faktor yang memicu trauma; mengajari membuat batasan, keterampilan untuk membangun hubungan yang sehat, menghadapi kritik diri; serta mengatasi gejala kesehatan mental yang terkait dengan trauma dan kekerasan jangka panjang. Ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri.
Penulis: Rachma Fitria
Editor: Lukas Limanjaya
Sumber:
Prasetia, F, A. (2021, December 11) Sepanjang tahun 2021 lebih 8000 kasus KDRT dilaporkan, kekerasan seksual terhadap anak paling mendominasi. Tribun News: https://www.tribunnews.com/nasional/2021/12/11/sepanjang-2021-lebih-8000-kasus-kdrt-dilaporkan-kekerasan-seksual-terhadap-anak-paling-mendominasi
Resnick A. (2021, November 05). What is trauma bonding. Verywell Mind: https://www.verywellmind.com/trauma-bonding-5207136