Apa yang muncul di benak KALMers ketika mendengar kata konseling? Mungkin KALMers berpikir bahwa konseling itu hanya untuk mereka yang punya stres berat. Atau, KALMers memiliki ketakutan dianggap sebagai orang gila apabila pergi konseling. Mungkin pula ada pemikiran-pemikiran lain seperti konseling itu tidak berguna, konseling itu buang-buang waktu/uang, atau kalau konseling, konselor hanya meminta klien untuk bercerita tetapi tidak memberikan solusi. Eits, tetapi apakah semua itu benar? Apakah konseling itu hanya untuk mereka yang punya masalah berat? Apakah konseling sebenarnya sama sekali tidak membantu?
Tentunya pertanyaan-pertanyaan di atas hanya bisa dijawab apabila sudah pernah mengikuti proses konseling itu sendiri, KALMers. Oleh karena itu, tim KALM melakukan wawancara pada salah satu pengguna jasa layanan konseling berinisial W. W merupakan mahasiswi berusia 21 tahun yang telah melakukan konseling baik dalam bentuk tatap muka maupun melalui bentuk online di aplikasi KALM. Kira-kira, pengalaman konseling W seperti apa, ya?
Konseling Tatap Muka W : Ekspektasi dan Kenyataan
W pertama kali melakukan konseling ketika duduk di bangku SMA. Pada saat itu, W konseling bersama dengan guru BK-nya. Ketika konseling, perasaan W biasa saja. Akan tetapi, setelah konseling, W merasa malu. Perasaan itu muncul karena kini guru BK-nyaseseorang yang ia kenal dekat di luar kegiatan konselingmengetahui masalahnya. Perasaan malu itu berangsur-angsur menurun setelah W tidak melakukan konseling lagi dengan guru BK-nya.
W kembali melakukan konseling pada akhir tahun 2019 sampai awal tahun 2020. Pada saat itu, W didaftarkan oleh temannya untuk konseling. Konseling memang bisa dirujuk oleh teman/keluarga, KALMers. W bersedia untuk mengikuti konseling asal konselornya bukan seseorang yang ia sering temui di luar kegiatan konseling. Hal tersebut dikarenakan W tidak ingin mengulang pengalaman yang sama ketika SMA. Sebelum konseling, W punya bayangan yang lebih jelas mengenai kegiatan konseling karena ia juga merupakan seorang mahasiswi Psikologi. Ia sudah belajar mengenai teori dan praktik konseling. Meski begitu, ada bayangan khusus yang ia miliki yaitu, ketika konseling, ia merasa pasti akan menangis.
W bercerita bahwa pengalaman setiap kali melakukan konseling selalu berbeda-beda, KALMers. Pada awal-awal sesi konseling, W merasa tidak nyaman namun, di sisi lain, W juga merasa perlu konseling untuk kebaikannya sendiri. Di saat itu, W sedang mengalami masa-masa down yang berat.
Pada sesi-sesi selanjutnya, W merasa masih belum mendapatkan sesuatu dari konselingnya. Ada juga beberapa sesi yang ketika selesai membuat W merasa: Udah, nih, gini aja?. Namun, pelan-pelan W mulai merasa nyaman dengan konselor dan mendapatkan banyak insight atau perspektif baru dalam melihat masalahnya ketika menjalani konseling.
Lalu, bagaimana perasaan W setelah menjalani sesi konseling? Umumnya, kita berpikir pasti kita akan merasa lega. Namun ternyata setelah mengikuti konseling, W tidak pernah merasa lega.
Huh, kok gitu?
Ini bukan berarti konselor W tidak tepat atau tidak membantu, lho, KALMers. Bagi W, konselornya tetap memberikan bantuan yang ia butuhkan. Memang perasaan yang dialami setelah proses belum tentu adalah perasaan lega. Ada banyak variasi emosi yang KALMers bisa rasakan. Selain perasaan lega apabila KALMers habis membagikan sesuatu yang penting dan merasa didengar dan dimengerti, KALMers bisa aja merasa:
Berenergi, apabila KALMers mulai memahami sesuatu yang baru mengenai diri KALMers atau KALMers menentukan sebuah tujuan baru di hidup KALMers.
Lelah, apabila KALMers merasa sesi konselingnya menantang atau perlu usaha keras.
Frustasi, apabila KALMers tidak mendapatkan apa yang KALMers inginkan setelah sesi berakhir atau merasa tidak didengar atau dimengerti.
Kesal atau dibanjiri berbagai emosi, apabila sesi konseling tadi membuat KALMers mengingat kembali kenangan buruk atau menyakitkan.
...dan masih banyak lagi emosi-emosi lainnya. Semua perasaan ini wajar dirasakan, KALMers. Kemunculan perasaan-perasaan ini justru menandakan bahwa proses konseling sedang berlangsung dan KALMers sedang berproses di dalam sesi konseling tersebut.
Konseling Online?
Lalu, bagaimana dengan konseling online? Apakah pengalamannya berbeda dengan konseling tatap muka? Beruntungnya, W sudah pernah menjalankan kedua jenis konseling ini. W melakukan konseling online pada bulan Mei lalu melalui aplikasi KALM (kamu bisa download aplikasi kalm lewat link ini).
Sebelum melakukan konseling, W mengira proses konseling akan sama seperti konseling tatap muka; yang berbeda hanyalah kini ia konseling melalui chatting. Walaupun benar sistem konseling di KALM adalah chatting, akan tetapi sistem chatting KALM tidak real-time seperti di aplikasi chatting lain, KALMers. Oleh karena itu, konselor tidak dapat selalu langsung membalas pesan W. Namun, W memahami bahwa konselornya tentu memiliki klien lain dan kehidupannya sendiri sehingga tidak dapat langsung membalas pesannya.
Meskipun berbeda, W tetap merasa konseling online bisa membantunya karena, pada masa pandemi, konseling online menjadi pilihan bantuan yang lebih aman dibanding konseling tatap muka berhubung tidak ada pertemuan secara fisik pada konseling online. Selain itu, konseling online merupakan immediate help yang bisa W segera dapatkan di mana saja dan kapan saja. Meski waktu konselingnya cenderung lebih longgar, W tetap mendapatkan manfaat dari konseling online. Konselor yang W temui di konseling online memberikan insight kepada W untuk melihat masalahnya dan juga memberikan saran berupa apa yang dapat dilakukan oleh W pada saat itu (action-based).
Hm, Konseling atau Tidak, Ya?
Nah, KALMers, setelah membaca sharing pengalaman konseling di atas, apakah KALMers sudah lebih terbayang dengan proses konseling? Proses konseling memang tidak selalu berjalan mulus, KALMers. Meski begitu, konseling adalah jembatan antara kebingungan dan kejelasan. Konselor bisa membantu kita untuk mengurai benang kusut masalah menjadi lebih terurai dan lebih jelas.
W juga punya pesan, nih, untuk KALMers yang belum pernah atau masih ragu-ragu untuk mengikuti konseling. W bilang, Dont knock it if you havent tried it. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, bukan? Kita harus mencoba konselingnya terlebih dahulu sebelum kita dapat menilai. Selain itu, konseling juga bukan perkara seberapa penting masalah yang dihadapi KALMersapabila KALMers merasa masalah itu mengganggu, maka segera obati-lah masalah itu.
Last but not least, kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik, KALMers! Kadang-kadang masalah harga membuat KALMers ragu untuk mengikuti konseling. Akan tetapi, masalah batin yang terlalu lama tidak tertangani bisa berdampak ke mana-mana, KALMers. So, apabila KALMers merasa membutuhkan tempat untuk bercerita, jangan ragu untuk minta bantuan ke profesional atau psikolog!
*Pengalaman konseling lain dapat dicek di: 1, 2, 3, 4, dan 5.
Selama ini mungkin kita senang ketika dimanjakan oleh pasangan. Semakin memanjakan semakin terasa romantis. Tapi, ternyata ada kalanya ketika sikap memanjakan ini dilakukan bukan karena pasangan ki...
Generasi Z dan milenial dikenal dengan sifat mereka yang dinamis dan cenderung tidak takut untuk berpindah karier demi mengejar kepuasan pribadi dan profesional. Bener nggak, KALMers? Nah, salah sa...
Di era digital saat ini, teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita, termasuk anak-anak. Gadget seperti smartphone, tablet, dan komputer sering digunakan untuk hiburan,...