Pelaku Kekerasan Seksual Kok Diberi Panggung?

Description

Beberapa waktu lalu Indonesia dihebohkan dengan kembalinya narapidana kasus kekerasan seksual terhadap anak ke masyarakat. Tak seperti narapidana pada umumnya, kepulangan SJ ini justru disambut meriah hingga diberi karangan bunga. Peristiwa ini mengundang kemarahan masyarakat karena dianggap berlebihan mengingat kasus pencabulan yang ia lakukan sebelumnya. SJ bahkan diundang ke stasiun TV untuk menjadi bintang tamu di sebuah acara.

Ironis, media yang seharusnya berperan penting dalam mengedukasi masyarakat dan memberikan dukungan bagi korban, justru bertindak sebaliknya. Media seolah bungkam dengan trauma yang dialami korban dan justru memberi spotlight pada pelaku. Bahkan mengundangnya dalam acara TV hanya untuk mendapatkan rating acara yang tinggi.

Mengapa fenomena ini kerap terjadi? Mengapa masyarakat dan media justru seolah berpihak pada pelaku dan cenderung tidak peduli dengan yang dialami korban kekerasan/pelecehan seksual? Bagaimana dampak hal ini terhadap korban?

KALM mencoba membahasnya dari sudut pandang psikologi. KALMers yang penasaran, baca artikel ini sampai selesai ya!

Rendahnya Empati Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Saat ini stigma mengenai kasus kekerasan/pelecehan seksual masih tinggi. Buktinya bisa KALMers lihat di kolom-kolom komentar media sosial yang membahas isu pelecehan/kekerasan seksual ini. Tak jarang orang justru menyalahkan korban atas pelecehan/kekerasan yang ia alami. Lebih parahnya, mereka dengan mudahnya mewajarkan perilaku tidak senonoh yang dilakukan pelaku.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bongiorno dkk (2020) menunjukkan bahwa rendahnya empati terhadap korban pelecehan/kekerasan seksual berperan dalam hal ini. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terlepas dari jenis kelamin mereka, orang-orang ternyata lebih mampu memahami sudut pandang pelaku daripada korban. Hal inilah yang menyebabkan empati orang lebih terbangun untuk pelaku kekerasan seksual (biasanya laki-laki) daripada untuk korban (terutama perempuan).

Kekerasan Seksual Adalah Kesalahan Korban (?) 

Selain itu, Sherry Hamby, seorang profesor psikologi di University of the South dan editor pendiri jurnal Psychology of Violence APA menambahkan bahwa, “Faktor terbesar yang mendorong seseorang menyalahkan korban adalah adanya gagasan bahwa korban pantas mendapatkan apa yang terjadi pada mereka....”

Akhirnya muncullah pemikiran-pemikiran semacam, “Ya, wajarlah dilecehkan kalau kamu memakai baju terbuka,” terhadap korban atau, “Laki-laki kan memang memiliki nafsu yang besar,” terhadap pelaku.

Hmm.. bagaimana menurutmu, KALMers?

Pentingnya Empati Pada Korban Kekerasan Seksual

Melansir dari The Jakarta Post (2018), satu dari tiga korban kekerasan seksual mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan stres berkepanjangan yang terjadi dalam enam bulan setelah peristiwa traumatis. Diperkirakan 35-70% korban mengalami gangguan depresi dan 15% mengalami gangguan psikotik. Namun, gejala tersebut tidak hanya disebabkan oleh trauma itu sendiri tetapi juga tanggapan negatif dari sistem sosial. Masyarakat yang cenderung tak peduli dengan korban dan justru memihak pelaku memberi beban dan tekanan mental tersendiri bagi korban.

Ketika Korban Masih Anak-Anak

Apalagi jika korban masih anak-anak. Hal tersebut tentunya dapat menambah panjang dampak psikologis mereka. Selain mengalami PTSD, penelitian juga menyebutkan bahwa anak-anak yang mengalami pelecehan/kekerasan seksual rentan mengembangkan Borderline Personality Disorder (BPD). Pengalaman pelecehan seksual ditambah pengabaian secara emosional dengan tidak memvalidasi apa yg ia alami tentunya membuat kecenderungan BPD ini bukan hal yang tidak mungkin ditemui pada anak korban kekerasan seksual.

BPD seringkali dikaitkan dengan kecenderungan perilaku berisiko dan impulsif, seperti minum alkohol dalam jumlah berlebihan atau menyalahgunakan narkoba. Jika tidak mendapatkan pertolongan, mereka juga rentan terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri (self-injury), hingga percobaan bunuh diri.

Baca artikel ini untuk lebih tahu lagi bagaimana kita bisa membantu seseorang dengan keinginan untuk bunuh diri.

Kita Harus Belajar Menjadi Lebih Baik Lagi

Bagaimana? Masih sulitkah untuk berempati pada korban? Yuk, kita menjadi lebih bijaksana lagi dalam menyikapi berita-berita semacam ini. Jika berkaca pada prinsip norma sosial dan agama kita memang dianjurkan untuk memaafkan pelaku. Namun, tidak berarti kita melupakan perilakunya. Jangan sampai dengan memaafkan menjadikan pelaku lupa akan tanggung jawab moralnya.

Lagipula korbanlah yang mengalami rasa sakit akibat trauma. Jadi bukankah hanya korban yang pantas memberi maaf?

Nah, sekian artikel kali ini KALMers. Semoga artikel ini bisa memberi sudut pandang baru untukmu ya! Sudah selayaknya kita memberikan dukungan yang lebih bagi korban. Agar mereka tidak berjuang sendirian melawan trauma yang dialami.

Kamu bisa share artikel ini jika dirasa bermanfaat dan bagikan juga pendapatmu! Jangan lupa download Aplikasi KALM di sini untuk mendapatkan notifikasi artikel-artikel terbaru ya!

Penulis: Rachma Fitria

Editor: Lukas Limanjaya

Sumber:

Anindyajati, G. (2018, August 18). More support needed for rape victim. The Jakarta Post. Retrieved from: https://www.thejakartapost.com/life/2018/08/08/more-support-needed-for-rape-victims.html

Bongiorno, R., Langbroek, C., Bain, P. G., Ting, M., & Ryan, M. K. (2020). Why women are blamed for being sexually harassed: The effects of empathy for female victims and male perpetrators. Psychology of women quarterly, 44(1), 11-27.

Nariswari, S. L. (2021, September 07). Layakkah pelaku pelecehan seksual dimaafkan? Kompas.com. Retrieved from: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/09/07/153545520/layakkah-pelaku-pelecehan-seksual-dimaafkan?page=all

Baca Artikel Lainnya

Hati-hati Infantilization: Ketika Pasangan Memperlakukanmu Seperti Bocah

Selama ini mungkin kita senang ketika dimanjakan oleh pasangan. Semakin memanjakan semakin terasa romantis. Tapi, ternyata ada kalanya ketika sikap memanjakan ini dilakukan bukan karena pasangan ki...

Career Shifting Gen-Z & Millennial Demi Passion & Kepuasan Pribadi

Generasi Z dan milenial dikenal dengan sifat mereka yang dinamis dan cenderung tidak takut untuk berpindah karier demi mengejar kepuasan pribadi dan profesional. Bener nggak, KALMers? Nah, salah sa...

Bahaya Screen Time Berlebihan Bagi Anak

Di era digital saat ini, teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita, termasuk anak-anak. Gadget seperti smartphone, tablet, dan komputer sering digunakan untuk hiburan,...