KALMers, jika kamu mendengar perilaku self-diagnose, apa yang terlintas di pikiranmu? Pernahkah kamu terbayang bahayanya melakukan self-diagnose? Di artikel Kalmselor of the Month kali ini, Kalmselor Elis ingin berbagi informasi mengenai self-diagnose, nih. Buat kamu yang ingin paham lebih dalam, simak sampai akhir, ya!
Baca juga: Kalmselor Patriavi: Bisa Menerawang Kepribadian Lewat Tulisan Tangan? dan Kalmselor Meity: Cek! Ini Bedanya Panic Attack dan Gangguan Panik
Sebelum masuk ke topik utamanya, alangkah lebih baik jika kita berkenalan dulu sama Kalmselor of the Month yang satu ini, ya.
Kalmselor Elis Suci Prapita Sari adalah seorang psikolog klinis remaja dan dewasa. Selain berpraktik sebagai psikolog, Kalmselor Elis ini ternyata juga seorang dosen, lho! Ia mengajar di salah satu kampus di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, KALMers. Wah.. hebat, ya!
Selama berpraktik kurang lebih hampir 2 tahun di KALM, Kalmselor Elis sering menangani permasalahan terkait kecemasan, toxic relationship, toxic parents, bahkan masalah trauma masa lalu. Menurutnya, klien yang datang untuk berkonsultasi dengannya biasanya sudah cukup paham dengan kondisi diri dan masalah yang mereka hadapi. Mereka melakukan konseling untuk mengkonfirmasi apakah yang mereka rasakan benar dan wajar atau tidak. Kalmselor Elis sampai salut nih sama KALMers yang memiliki self-awareness tinggi akan kondisi diri.
Nah, apakah kamu sering mendengar perilaku self-diagnose, KALMers? Seiring kemajuan teknologi, akses informasi mengenai ilmu psikologi menjadi tak terbatas pada ilmuwan psikologi saja. Hal ini tentu memberi dampak positif akan pentingnya kesehatan mental bagi masyarakat umum. Namun, di sisi lain dampak negatifnya pun tidak dapat dipungkiri, salah satunya adalah fenomena self-diagnose.
Perilaku self-diagnose jika diartikan secara harfiah berarti mendiagnosis diri sendiri adalah sebuah perilaku dimana seseorang melakukan analisis dan interpretasi berlebihan mengenai kondisi kesehatan dirinya tanpa pendampingan dari ahli yang tepat. Fenomena ini sering kali berkaitan dengan kondisi medis atau psikologis, misalnya orang yang menganggap dirinya menderita depresi klinis padahal tidak ada diagnosis dari psikolog atau psikiater.
Di antara kamu mungkin ada yang bertanya-tanya, bukankah itu hal yang baik? Artinya kan kita paham dan sadar akan kondisi diri?
Tentu pemahaman akan kondisi diri, atau yang biasa disebut sebagai self-awareness adalah hal yang baik. Dengan self-awareness kamu bisa memahami kapan kamu merasa senang, sedih, sedang tidak fit, tidak sehat, bahkan kapan kamu membutuhkan pertolongan profesional. Namun, tidak sampai pada tahap diagnosis. Diagnosis hanya boleh dilakukan oleh profesional karena tujuan dari diagnosis itu sendiri adalah untuk menentukan treatment yang tepat, bukan sekadar label.
Jadi, lebih baik langsung saja konsultasi dengan profesional jika kamu sudah merasakan gejala-gejala yang menandakan kamu sedang tidak baik-baik saja. Misalnya jadi sulit tidur, mudah merasa lelah dari biasanya, atau bahkan jadi mudah marah, alih–alih mengira-ngira apa yang terjadi, langsung konsultasikan kondisimu ke Kalmselor, ya!
Menurut Kalmselor Elis ada beberapa bahaya melakukan self-diagnose, mulai dari yang paling sederhana hingga fatal.
“Dengan melakukan self-diagnose, seseorang bisa jadi menyepelekan atau justru sebaliknya, melebih-lebihkan kondisi dirinya. Misal, seseorang yang merasakan intensitas kesedihan yang luar biasa justru menganggap bahwa itu bukan masalah serius dan sebaliknya, seseorang yang sebenarnya hanya mengalami kesedihan sesaat kemudian menganggapnya sebagai depresi klinis,” jelas Kalmselor Elis.
Tidak hanya itu, KALMers. Di tingkat yang paling fatal, perilaku self-diagnose ini bisa berakibat pada kesalahan diagnosis dan treatment, lho! Hal ini dikarenakan dalam mendiagnosis diri sendiri, seseorang akan kehilangan objektivitasnya dalam menilai kondisi. Hal ini akan menyulitkan psikolog atau psikiater dalam melakukan asesmen (proses penilaian kondisi klien) akibat label diagnosis yang sudah dibawa oleh klien.
Nah, lalu gimana dong supaya hal ini tidak terjadi?
Semakin berkembangnya teknologi mungkin akan membuatmu tertarik mencari tahu tentang gangguan mental di Internet. Tidak ada yang salah akan hal ini. Tapi yang perlu diingat adalah hindari melabel diri dengan setiap kondisi yang kamu temui di Internet. Informasi yang kamu dapat di Internet belum tentu akurat. Ingat bahwa peranmu hanyalah sebatas memahami kondisimu, bukan memberi label diagnosis.
Setelah mempelajari apa yang kamu dapatkan di internet, alih-alih menyimpulkan sendiri, kamu bisa tanyakan hal tersebut pada profesional kesehatan mental (psikolog atau psikiater). Psikolog dan psikiater dilatih untuk bisa memberikan gambaran yang objektif dan netral dalam menilai kondisi klien. Untuk itu perannya sangat penting dalam memberi diagnosis, KALMers.
Kamu bisa berkonsultasi langsung dengan Kalmselor Elis di Aplikasi KALM (unduh di sini) dengan memasukkan kode ELI-109, ya!
Setiap orang pasti punya masalahnya masing-masing. Tapi ingat bahwa setiap orang juga potensinya masing-masing dalam menghadapi masalah. Terlalu fokus pada hal negatif adalah penghambat menemukan potensi tersebut. Dengan konseling, kamu bisa menguraikan potensi positif kamu untuk mengatasi masalah.
Penulis: Rachma Fitria
Editor: Lukas Limanjaya