KALMers pernah nggak sih dengar kalimat-kalimat seperti, “Kamu harus nurut sama Mama-Papa,” atau “Kamu masak gitu aja nggak bisa, sih?” atau, “Mama-Papa melakukan ini untuk kebaikan kamu!”? Hmm.. rasanya hal ini sudah sangat familiar dirasakan seorang anak, ya. Apalagi di budaya Asia yang masih menjunjung tinggi prinsip ‘Anak harus menurut pada orang tua.’ Prinsip tersebut lambat laun tanpa kita sadari telah menciptakan tradisi didikan berbahaya bagi kesehatan mental anak, lho!
Menjadi orang tua merupakan peran yang penuh dengan tantangan. Dalam perkembangan anak, orang tua adalah sosok yang sangat dibutuhkan. Sebagai orang pertama yang memiliki hubungan dekat dengan anak, orang tua perlu menerapkan hal-hal yang berdampak baik bagi tumbuh kembang anak. Namun, pada kenyataannya, harapan-harapan baik itu disertai dengan berbagai didikan berbahaya untuk kesehatan mental anak.
Seperti yang telah disebutkan di judul, bentuk-bentuk didikan ini akan berdampak buruk pada kesehatan mental anak. Dalam hal ini KALM telah mewawancarai Co-Founder KALM & Psikolog Anak, Kalmselor Karina Negara untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai hal ini.
Apa saja dampak tradisi didikan berbahaya tersebut terhadap kesehatan mental anak? Yuk, simak penjelasan Kalmselor Karina!
Menurut Kalmselor Karina, bentuk sakit hati dan dampak jangka panjangnya akan berbeda-beda pada setiap anak karena setiap perilaku orang tua memengaruhi anak dengan cara yang berbeda pula. Sebagian orang tua menyepelekan rasa sakit hati yang dirasakan anak. Padahal, perasaan dan pengalaman yang terjadi dalam masa tumbuh kembang anak sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan perilakunya, baik pada saat itu maupun ketika ia tumbuh dewasa. Ketika menerima perlakuan yang menyakiti hati, anak bisa menangis, memikirkan kejadian tersebut berulang-ulang, atau bahkan bisa terlihat biasa saja. Dalam jangka panjang rasa sakit hati yang dirasakan anak dapat menyebabkan trauma (Hatta, 2015).
Seiringan dengan terjadinya hal yang menyakiti hati anak, dampak lain yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yaitu rusaknya relasi anak dengan orang tua. Anak cenderung menganggap orang tua sebagai sosok yang melindunginya. Ketika mengalami kekerasan fisik, disalahkan di depan umum, ataupun dibanding-bandingkan dengan orang lain, anak merasakan emosi negatif terhadap orang tuanya. Alhasil rasa takut, sedih, malu, hingga benci dapat bertumbuh dalam benak anak. Anak bisa menjadi lebih diam dan menjauh dari orang tua untuk menghindari kejadian yang sama terulang kembali.
Perlu ada usaha dari kedua belah pihak untuk memperbaiki relasi anak dengan orang tua. Sebagai orang tua, perlu ada tindak lanjut setelah menyakiti hati anak. Minimal dengan mengucapkan maaf, penjelasan tentang emosi orang tua, dan pelanggaran yang mungkin dilakukan anak, serta perubahan sikap dari orang tua. Tindak lanjut ini juga perlu disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.
“Cara menegur anak balita, anak usia SD, atau anak yang sudah remaja tentunya berbeda-beda. Maka itu, memperbaiki relasi antara anak dan orang tua perlu pengertian lebih lanjut tentang dampak dan faktornya,” lanjut Kalmselor Karina.
Nggak cuma itu aja! Masih penasaran dengan dampak lainnya dari berbagai didikan berbahaya bagi anak? Di series artikel KALM selanjutnya, kita akan membahas lebih detail mengenai beberapa bentuk didikan yang berbahaya untuk kesehatan mental anak, lho! Tentunya masih bersama Kalmselor Karina Negara. Makanya pantengin terus aplikasi KALM kamu (unduh di sini) supaya nggak ketinggalan update artikel selanjutnya, ya!
Baca juga: Pertengkaran Orang Tua – Aku Harus Bagaimana? dan Tolong! Aku Dibesarkan Dengan Pola Asuh Helikopter
Jika kamu pernah mengalami hal ini juga, jangan ragu untuk menghubungi Kalmselor melalui aplikasi KALM untuk mendapatkan bantuan profesional.
Penulis: Tanita
Editor: Rachma Fitria & Lukas Limanjaya
Sumber:
Hatta, K. (2015). Peran orangtua dalam proses pemulihan trauma anak. Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 1(2), 57-74.
Wibowo, C., Andromeda DS, K., & Santoso, J. G. (2019). Trauma Masa Anak, Hubungan Romantis, dan Kepribadian Ambang. Jurnal Psikologi, 46(1), 63-71.