KALMers, minggu sebelumnya kita sudah bahas bentuk didikan yang berbahaya untuk kesehatan mental anak secara umum. Nah, di part 2 kali ini KALM ingin melanjutkan pembahasan yang lebih spesifik, yaitu tradisi mendidik anak dengan kekerasan.
KALMers mungkin pernah dengar cerita masa kecil generasi boomers. Orang tua, bahkan guru di sekolah mereka dulu sering mendidik anaknya dengan kekerasan fisik. Ditampar ketika nakal, dijewer telinganya ketika nilai ujian matematikanya jelek, atau dipukul dengan ikat pinggang jika berkata jorok/kasar. Bisa dibilang zaman dulu kekerasan fisik sangat diwajarkan dalam mendidik anak.
Nah, seiring berkembangnya zaman, saat ini sudah banyak orang tua yang pelan-pelan mulai memahami bahwa kekerasan fisik membawa lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif. Apa saja, sih, dampak negatifnya? Melalui artikel series kali ini Kalmselor Karina Negara (KAR-522) menjelaskan beberapa dampak dari kekerasan fisik bagi anak.
Berikut dampak tradisi didikan dengan kekerasan fisik pada anak:
Umumnya, orang tua menerapkan kekerasan fisik dengan tujuan memberi efek jera bagi anak. Orang tua berharap anaknya mengerti bahwa mereka marah karena tidak menyukai perilaku tertentu yang dilakukan anak. Kekerasan yang dilakukan bisa menimbulkan luka fisik, baik luka berdarah, lebam, lecet, luka gores, dan sebagainya. Selain itu, anak juga jadi berpikir, orang yang seharusnya menyayanginya justru menyerangnya. Pikiran ini akan terngiang-ngiang terutama selama luka fisiknya masih ada.
Masa pertumbuhan yang dipenuhi dengan berbagai macam kegiatan menuntut anak untuk aktif mencoba banyak hal. Dengan adanya luka fisik karena kekerasan, anak cenderung menutupi lukanya untuk menghindari rasa malu terhadap orang-orang di sekitarnya. Selain malu karena luka fisik, anak juga mungkin merasa malu tentang situasi relasi dalam keluarganya.
Kekerasan fisik yang dilakukan orang tua juga menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri. Alih-alih membuat anak jera dengan perilaku tertentu, anak jadi kapok untuk berterus terang dengan orang tuanya. Rasa takut ini dapat mengarahkan anak untuk berbohong.
Berdasarkan penelitian, cara anak memandang, menghargai, dan memperlakukan dirinya sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang tua memperlakukan anaknya dalam keluarga. Dalam jangka panjang, kekerasan fisik pada anak bisa membentuk pola pikir yang mewajarkan perilaku kekerasan bagi diri sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Seorang anak bisa tumbuh dengan kepercayaan bahwa dirinya layak untuk diperlakukan secara kasar. Hal ini bahkan memungkinkan pengulangan tradisi didikan yang salah. Anak mungkin tumbuh dewasa dan menjadi korban atau pelaku KDRT karena merasa hal tersebut wajar untuk dilakukan.
Tak jarang orang tua berkata, “Mama-Papa mukul kamu tuh karena sayang dan peduli. Kalau kita nggak peduli sama kamu, pasti kita biarin aja!” Hmm, sebagai anak, rasanya sulit mencerna kalimat itu, ya? Orang tua yang katanya sayang dengan anaknya, malah melakukan kekerasan yang menyakiti anak. Hal ini justru membuat anak bingung dan jadi kesulitan untuk mengekspresikan rasa sayang dengan baik kedepannya.
Orang tua berperan sebagai salah satu role-model dalam kehidupan anak. Anak belajar tentang hal-hal yang boleh dilakukan, tidak wajar dilakukan, sulit dilakukan dari orang tuanya. Dengan melihat kebiasaan orang tuanya yang melakukan kekerasan fisik ketika merasa marah, anak akan beranggapan bahwa emosi marah wajar untuk diekspresikan secara agresif kepada orang lain. Padahal, nyatanya kita bisa mengelola emosi marah tersebut sebelum disampaikan kepada orang yang bersangkutan.
Kekerasan fisik yang disertai dengan perkataan, “Kamu ini bisanya bikin Mama-Papa kesal terus!” bisa buat anak merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain. Mendengar perkataan orang tuanya, anak mungkin merasa bersalah dan bertanggung jawab atas perasaan orang tua. Jika tidak ditindaklanjuti dengan baik, hal ini dapat membentuk perilaku people pleaser di kemudian hari. Anak cenderung takut melakukan kesalahan dan takut akan tanggapan orang lain.
Baca juga: Kalmselor Linota: Sibling Rivalry, Persaingan Saudara Normal Kah? dan Kalmselor Dina: Tips Persiapan Sebelum Menjadi Orangtua
Nah, setelah membahas dampak negatif kekerasan fisik pada anak, akan ada beberapa artikel KALM selanjutnya mengenai beberapa bentuk didikan lainnya yang berbahaya untuk kesehatan mental anak dan tentunya masih bersama Kalmselor Karina Negara. Ditunggu update selanjutnya melalui aplikasi KALM (unduh di sini)!
Jika kamu pernah mengalami kekerasan fisik atau memiliki pikiran yang mengganggu keseharianmu, jangan ragu untuk menghubungi Kalmselor melalui aplikasi KALM untuk mendapatkan bantuan profesional.
Penulis: Tanita
Editor: Rachma Fitria & Lukas Limanjaya
Sumber:
Kurniasari, A. (2019). Dampak kekerasan pada kepribadian anak. Sosio informa, 5(1).
Walker, L. E. (1999). Psychology and domestic violence around the world. American Psychologist, 54(1), 21.