KALMers, pernah mendengar istilah “Children see, children do”? Yup, istilah ini menggambarkan kondisi anak-anak yang biasanya belajar dengan meniru lingkungan sekitarnya. Artinya lingkungan masa kecil memiliki pengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang kita sebagai individu. Pengalaman yang menyenangkan akan membuat individu tumbuh dengan suka cita, begitu pula sebaliknya. Pengalaman tidak menyenangkan bisa membawa luka dan trauma, bahkan hingga dewasa.
Nah, berkaitan dengan hal itu Kalmselor Nerissa selaku Kalmselor of the Month bulan Mei ini akan membahas mengenai Adverse Childhood Experience, nih! Apa itu Adverse Childhood Experience dan dampaknya bagi seseorang? Yuk, kita tanya langsung ke Kalmselor Nerissa!
Kalmselor Nerissa Wijaya adalah salah satu Kalmselor di aplikasi KALM sejak 2020. Berkat dedikasinya pada para klien di KALM, ia terpilih menjadi Kalmselor of the Month bulan Mei ini, KALMers. Wah, Kalmselor favorit siapa, nih?
Meskipun mengambil S2 di bidang klinis dewasa, tapi fokus minat Kalmselor Nerissa tidak terbatas pada permasalahan dewasa saja, KALMers. Ia juga sempat mengambil peminatan di permasalahan anak dan keluarga, lho! Menurutnya, jika berbicara mengenai masalah psikologis, kondisi seseorang tidak bisa sekadar dipisahkan antara anak dan dewasa karena keduanya pasti saling berkaitan.
Gimana, KALMers? Tertarik untuk konsultasi bersama Kalmselor Nerissa? Kita lanjut dulu pembahasan mengenai Adverse Childhood Experience, ya! Hehe..
Menurut penjelasan Kalmselor Nerissa, Adverse Childhood Experience merupakan pengalaman masa kanak-kanak, yaitu usia 0 - 17 tahun yang merugikan. Merugikan dalam hal ini adalah berpotensi menimbulkan trauma. Berbagai pengalaman merugikan ini misalnya, kekerasan, pelecehan, dan penelantaran. Namun, nggak hanya pengalaman yang dialami secara langsung, pengalaman menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan pun termasuk dalam kategori Adverse Childhood Experiences, KALMers.
“Pengalaman-pengalaman ini nggak hanya berpotensi menimbulkan trauma saja, tetapi juga merusak rasa aman, stabilitas, dan ikatan. Nantinya pengalaman-pengalaman ini bisa memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan seseorang,” lanjut Kalmselor Nerissa.
Pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan ini akan memengaruhi kualitas hidup kita melalui toxic stress, KALMers. Mudahnya, toxic stress adalah jenis stres kronis yang terjadi secara terus-menerus dan berkepanjangan. Stres ini dapat berakibat fatal jika tidak segera ditangani karena berpotensi merusak tubuh dan otak, terutama pada masa anak-anak. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam tubuh dan otak inilah yang nantinya akan berdampak pada kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi dan merespons masalah di masa dewasa.
Nah, KALMers mungkin juga sudah tahu bahwa setiap peristiwa dalam hidup dapat memengaruhi seseorang secara berbeda. Satu peristiwa yang sama bisa menimbulkan trauma berat bagi seseorang, sedangkan pada individu lain tidak. Nah, berbicara tentang hal ini ada satu faktor yang memiliki peran penting, nih. Namanya faktor protektif.
Kalmselor Nerissa bilang, faktor protektif memiliki peran penting dalam melindungi individu dari dampak negatif peristiwa-peristiwa yang menyebabkan traumatis atau Adverse Childhood Experience tadi. Faktor protektif ini meliputi dukungan dari orang tua dan lingkungan sekitar melalui pola pengasuhan.
Kalmselor Nerissa menegaskan bahwa bukan hanya orang tua yang memiliki peran penting dalam menciptakan faktor protektif pada anak, namun keluarga juga. Keberadaan anggota keluarga lain seperti kakek, nenek, saudara kandung, bahkan paman, bibi, dll. juga berperan.
“Ini yang sering kita lupakan, jika berbicara mengenai faktor protektif dan faktor risiko, orang tua memang memiliki peran penting, namun tidak selalu jadi yang utama. Ada anggota keluarga lain yang tak kalah penting,” lanjut Kalmselor Nerissa.
Terus harus gimana, dong kalau kita ternyata sudah terlanjur mengalami berbagai hal tidak menyenangkan di masa kecil tanpa faktor protektif yang cukup? Tenang KALMers, kita memang tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mengubah masa depan, kok. Kalmselor Nerissa punya tips-nya!
Buat kamu yang memiliki luka dan trauma akibat Adverse Childhood Experiences, kamu bisa mulai memproses lukamu melalui langkah-langkah ini:
Kabar baiknya kamu nggak harus flashback jauh ke belakang untuk memulai journey-mu untuk healing, KALMers. Dengan menyadari kebutuhan diri saat ini, kamu sebenarnya sudah satu langkah lebih maju untuk memahami kebutuhan-kebutuhan lain yang belum kamu sadari. Sama halnya ketika kamu melakukan proses konseling, konselor tidak akan memintamu langsung menceritakan masalahmu di masa lalu, kan? Tapi galilah sedikit demi sedikit dari masa kini.
Baca juga: Tips Mengawali Cerita di Konseling Pertama dan Konseling itu Kayak Gimana, Ya?
Seseorang yang memiliki ACEs biasanya kesulitan melihat sisi positif dalam dirinya akibat peristiwa-peristiwa negatif yang terjadi. Nah, eksplorasi diri berfungsi untuk lebih memahami potensi positif yang ada dalam diri, KALMers.
Selain kedua hal tersebut, rutin melakukan basic self-care seperti tidur yang cukup dan berkualitas, melakukan aktivitas fisik, dan menjaga pola makan dengan mengonsumsi makanan bernutrisi juga tak kalah penting, ya. Hal ini dikarenakan ACEs tidak hanya berdampak ke kondisi psikologis saja, namun juga fisik. Dengan menjaga kesehatan mental dan fisik, dampak buruk ACEs bisa dikurangi. Bagaimana menurutmu, KALMers?
Healing yang benar tidak akan melewatkan bantuan dari profesional. Begitu pula dengan ACEs ini. Maka dari itu, jika kamu merasa mengalami ACEs, sangat disarankan untuk segera menghubungi profesional kesehatan mental, ya! Kamu bisa berkonsultasi secara online dengan Kalmselor Nerissa melalui aplikasi KALM (unduh di sini) dengan menggunakan kode NER-210.
Intinya, compassion over correction, ketahuilah kalau hal buruk yang terjadi bukan salah kita. Jadi, daripada menyalahkan diri sendiri, sayangi diri kamu dan sama-sama belajar jadi lebih baik.
Penulis: Rachma Fitria
Editor: Lukas Limanjaya