Cyberbullying: Lebih Parah dari Bullying Biasa

Description

Pasti kita sudah sering melihat hate-comments berseliweran di kolom komentar berbagai media sosial. Tak jarang, hate-comments tersebut juga muncul dari akun yang tidak jelas identitasnya. Hate-comments ini bisa jadi salah satu bentuk cyberbullying lho, KALMers! Kok bisa, ya? Yuk, kita simak penjelasan Kalmselor Larasati Margaretha tentang cyberbullying berikut ini. 

Cyberbullying itu Sebenarnya Apa, sih? 

Cyberbullying adalah segala bentuk perilaku yang mengancam atau melecehkan secara verbal, yang dilakukan melalui teknologi elektronik, seperti handphone, email, dan pesan teks. Cyberbullying bisa dilakukan secara anonim yang membuat pelaku semakin sulit dilacak identitasnya. 

Cyberbullying tidak melulu terjadi karena adanya masalah antara pelaku dan korban. Menurut Kalmselor Larasati, Cyberbullying bisa jadi dilakukan sebagai bentuk kompensasi atau pelampiasan dari masalah perilaku, agresi, maupun dampak penyalahgunaan zat yang dialami oleh pelaku. Ketika pelaku cyberbullying beraksi, mereka merasa bebas mengekspresikan pikiran dan perasaannya demi mendapatkan kepuasan. Sayangnya, hal ini dilakukan tanpa memikirkan dampak yang timbul pada orang lain atau korban. 

Bagaimana Seseorang Bisa Menjadi Pelaku Cyberbullying?

Menurut Kalmselor Larasati, alasan dan faktor seseorang menjadi cyberbully sangat banyak dan kompleks. Cyberbullies cenderung memiliki masalah perilaku lain, seperti agresi, hiperaktif, atau penyalahgunaan zat. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang melakukan bully secara langsung cenderung terlibat dalam cyberbully. Penelitian lain juga menemukan bahwa orang yang terlibat dalam cyberbullying memiliki tingkat empati yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak terlibat. 

Beberapa pelaku mengatakan bahwa cyberbullying membuat mereka merasa lucu, populer, dan berkuasa. Teman, guru, lingkungan, dan orangtua juga dapat memengaruhi kemungkinan seseorang melakukan cyberbullying, seperti hubungan orang tua-anak yang buruk atau kurangnya pengawasan orangtua, serta melihat teman atau orang lain yang sudah melakukan, kemudian mengikutinya.

Lalu Apa saja Dampak Cyberbullying? Apakah Lebih Parah dari Bullying Biasa?

Dampak cyberbullying sangat beragam, seperti menarik diri dari lingkungan sosial, merasa malu, memiliki self-esteem yang lebih rendah, lebih banyak mengalami masalah kesehatan, hingga pikiran dan percobaan bunuh diri. Selain itu, kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah, mudah marah, pola pikir yang disfungsional, serta gejala fisik seperti kelelahan, ketegangan otot, dan masalah pencernaan juga merupakan dampak yang umum ditemukan.

Dampak cyberbully lebih parah dibandingkan bully konvensional atau bullying biasa. Hal ini disebabkan oleh perilaku yang lebih permanen dan mencakup audiens yang lebih luas berpotensi membuat korban lebih merasa kesal. Korban juga dapat mengalami kesulitan untuk melarikan diri dari cyberbullying, karena gambar atau komentar jahat yang diberikan akan tetap ada secara virtual dan bisa muncul kembali kapan pun itu. 

Tips Menghadapi Cyberbullying

Berikut ini beberapa tanda kalau KALMers sedang mengalami cyberbullying dan memerlukan bantuan profesional seperti psikolog atau konselor:

  1. Merasa tidak nyaman dengan adanya perilaku cyberbullying
  2. Aktivitas sehari-hari terganggu. 
  3. Muncul pikiran maupun percobaan untuk menyakiti diri sendiri.

Selain mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor, ada beberapa hal yang juga bisa dilakukan:

  1. Tidak membalas komentar cyberbullying.
  2. Mencari dukungan sosial dari orang yang bisa dipercaya.
  3. Melaporkan ke pihak berwenang (orangtua, pendidik, polisi).

Langkah-Langkah Menciptakan Lingkungan Bebas Cyberbullying

1. Mengembangkan hubungan yang sehat

Hubungan yang sehat memiliki peran penting terhadap resiliensi. Dengan memiliki hubungan yang sehat, kita akan mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang yang kita percaya. Dengan dukungan sosial tersebut, kita akan lebih kuat menghadapi berbagai masalah dan bertahan di masa-masa sulit. 

2. Membangun resiliensi terhadap rasa malu 

Resiliensi (ketahanan psikologis) terhadap rasa malu dapat dilakukan dengan mengenali pemicu rasa malu, melatih kesadaran tentang hal-hal yang menghambat, mencari bantuan kepada orang yang bisa memberi dukungan tentang hal ini, dan bicarakan dengan jujur tentang rasa malu yang dirasakan dan apa yang dibutuhkan.

3. Menyadari tahap Post-Traumatic Growth

Post-Traumatic Growth merupakan pengalaman perubahan positif yang muncul sebagai hasil dari perjuangan mengatasi krisis hidup yang sangat menantang. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti meningkatkan apresiasi terhadap hidup secara keseluruhan, membangun hubungan interpersonal yang lebih penuh arti, meningkatan kekuatan diri, mengubah prioritas, dan memperkaya kehidupan spiritual.

Sebagai penutup, Kalmselor Larasati berpesan: “Jangan berikan mereka kekuatan untuk mengendalikan kita. Normalisasi membela orang yang mengalami cyberbullying agar mereka tahu mereka tidak sendirian”. 

Nah, apakah informasi tentang cyberbullying ini cukup membantu, KALMers? Bagi kamu yang sedang menghadapi cyberbullying atau dan butuh bantuan profesional psikolog atau konselor, kamu bisa mendiskusikan strategi menghadapi cyberbullying bersama Kalmselor Larasati Margaretha di aplikasi KALM, ya! Download aplikasi KALM di sini!

Larasati Margaretha S

Penulis: Sofi Maharani Putri

Editor: Rachma Fitria

 

Baca Artikel Lainnya

Career Shifting Gen-Z & Millennial Demi Passion & Kepuasan Pribadi

Generasi Z dan milenial dikenal dengan sifat mereka yang dinamis dan cenderung tidak takut untuk berpindah karier demi mengejar kepuasan pribadi dan profesional. Bener nggak, KALMers? Nah, salah sa...

World Mental Health Day 2024: Berani Prioritaskan Kesehatan Mental

Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia, KALMers!  Tahu nggak? Menurut polling yang dilakukan oleh Kumparan WOMAN secara online, ternyata 95,4 persen Gen Z setuju kalau menjaga kesehatan mental itu p...

7 Sinyal Seseorang Saat Membutuhkan Konseling

Seiring banyaknya orang yang mulai terbuka tentang pengalamannya ke psikolog atau psikiater jadi salah satu alasan untuk kita mulai menyamakan pergi konseling seperti pergi berobat ke dokter. Mulai...