Kalau di akhir membaca kamu lupa semuanya, tolong ingat minimal ini: Mengusir rasa cemas tidak akan membuatnya pergi dan mengatakan tenang saja adalah hal yang paling tidak berguna yang dapat kamu katakan pada seseorang yang sedang cemas.
Seusai Heat Event FLC Indonesia tanggal 28 Agustus 2019 yang lalu, salah satu juri dari pihak British Council bilang ke gw, "Kamu sudah pernah melakukan ini sebelumnya. Saya bisa lihat. Sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Gw tahu, maksudnya bicara atau tampil di depan banyak orang.
Iya, gw sudah pernah melakukan ini sebelumnya.
Sejak jadi Psikolog, paling sering ya 1) presentasi topik psikologi atau kesehatan mental dibantu Powerpoint Presentation. Sesekali gw suka 2) nyanyi satu-dua lagu di cafe (karena lagi pengen aja) atau nikahan temen tanpa diminta. Sepanjang hidup gw, gw adalah anggota suatu paduan suara, tahun ini barusan pentas sama Paragita. Bahkan sambil joget; tantangan baru karena gw bukan penari. Selain itu, gw juga beberapa kali tampil dalam pertunjukan 3) teater atau musikal. Tahun ini akhirnya kembali ke panggung drama bersama Jakarta Players, setelah sekian lama.
GW SUKA BANGET. Pentas. Lampu sorotnya. Panasnya panggung, dalam segala aspek, tidak menakutkan buat gw. Pentas bikin gw merasa hidup. Baru-baru ini gw mengakui bahwa gw cinta tampil, karena suka banget kurang menggambarkan perasaan gw. Tapi ini bukan berarti gw nggak pernah gugup.
Gugup adalah salah satu wujud rasa cemas. Kalian mungkin lebih sering bilang: Deg-degan.
Mungkin kalian sadar, 'berpidato' tidak ada dalam daftar jenis pertunjukan yang biasa gw lakukan. Itu karena gw nggak suka pidato, apalagi cinta. Gw sudah berkali-kali bilang, gw mendingan nyanyi solo 3 jam daripada berpidato 5 menit tanpa alat bantu. Tidak, terima kasih.
Gw adalah orang yang terencana. Odol baru selalu dibeli sebelum odol yang lama habis. Gw punya Rencana ABCD untuk setiap hal. Kalau kita membuat Rencana A bersama dan lo nggak jadi, dunia gw nggak akan hancur, karena gw pasti sudah menyusun Rencana B yang adalah Rencana A tapi bisa gw eksekusi sendiri. Gw sudah melakukan analisis dan menemukan bahwa inilah alasan gw nggak suka berpidato tanpa alat bantu. Apalagi ada batas waktunya. Terlalu banyak hal yang tidak pasti, kemungkinan yang di luar kendali, yang dapat terjadi dengan seni yang satu ini
Belum lama ini gw menemukan kutipan kata-kata Kahlil Gibran yang bisa menjelaskan dengan sempurna akar dari kegugupan gw yang sesekali datang: Kecemasan kita bukan datang dari memikirkan tentang masa depan, tapi dari keinginan untuk mengendalikannya.
Bener banget, woy. Gw selalu pengen tahu apa berikutnya. Gw selalu pengen tahu langkah apa yang harus gw ambil. Gw hanya cemas ketika gw merasa nggak punya kendali atas apa yang akan datang. Itulah kenapa gw banyak membuat rencana! Sedangkan faktanya adalah lebih banyak hal dalam hidup yang tidak bisa kita kontrol daripada yang bisa.
Untungnya untuk penampil yang satu ini, nasibnya bergantung pada sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia kendalikan. Dia harus menyampaikan pidato 5 menit dengan sangat baik di depan lebih dari 200 orang untuk mendapatkan posisi yang bergengsi sebagai Anggota Future Leaders Connect.
Singkat cerita, gw berhasil.
Itu kata-kata juri, bukan gw. Tapi berhasilnya tidak tanpa melepaskan beberapa kupu-kupu keluar dari perut gw dulu. Gw berhasil meyakinkan 3 juri dan beberapa ratus orang bahwa kesehatan mental itu sangat penting. Tapi gw hampir muntah dulu tiga kali pas nunggu giliran. Iya teman-teman, Karina Negara yang kalian kira selalu sangat percaya diri ini kemaren segugup itu!
Kronologisnya, jantung gw mulai berdetak lebih cepat begitu nyampe di belakang panggung Auditorium Perpustakaan Nasional RI. Sekitar jam 8.30 pagi. Kalau sesuai jadwal, giliran gw naik panggung itu sekitar jam 11.30. Jadi, ya, gw agak sengsara selama beberapa jam. Deg-degan.
Setelah merasakan perubahan fisik itu, gw mulai bergerak dan latihan setengah suara beberapa kali untuk meredakan rasa gugup. Hal yang menurut gw juga membantu adalah menghirup udara panggung dan menyerap energinya sebelum penonton masuk. Hah? Apose? Iya, gitu. Waktu auditorium masih kosong, gw berdiri di tengah panggung, di titik yang telah ditentukan, tutup mata, rentangin kedua tangan lebar dan ke atas, terus napas dengan bentukan begitu selama 10 detik. Lalu gw sapu (ceileh) ruangan dengan pandangan, buat estimasi nanti perlu gerak dan nengak-nengok seluas apa. Nggak, gw nggak ujug-ujug langsung tampil aja.
Gw udah latihan pidato gw dari beberapa hari sebelumnya. Gw rekam suara gw dan gw dengerin rekamannya di mobil karena gw banyak menghabiskan waktu untuk nyetir. Gw tinggal di Jakarta. Untuk menghafal, gw coba mencocokkan suara gw dengan rekaman, berkali-kali, dan tentunya gw juga mencoba membawakan pidato tanpa bantuan rekaman. Gw sendiri di mobil gw, tangan tetap pegang setir, dan gw tampilkan pidato itu seakan-akan ini antara hidup dan mati (#lebay).
Mempersiapkan diri sebaik mungkin adalah cara biasa gw menjaga kecemasan gw di level rendah yang bisa dikendalikan.
Sama halnya ketika gw bersiap-siap untuk FLC Heat Event Indonesia 2019.Tapi gw juga mau berbagi tentang cara gw meredakan rasa gugup yang lebih instan dan segera. Inget waktu gw bilang gw hampir muntah tiga kali karena gugup banget? Waktu itu gw lagi duduk di kursi penonton, menyaksikan finalis lain membawakan pidato mereka. Hal pertama yang gw lakukan waktu rasa gugup muncul lebih kuat adalah mengatakan, Gw gugup. Dalam hati soalnya gw nggak boleh bersuara. Gw gugup, khawatir nanti lupa pidatonya, kelebihan waktu, dan kacau aja, tambah gw. Hal pertama yang gw lakukan waktu gw merasa gugup banget sampai mau muntah adalah mengakui kecemasan gw, dan buat gw, itu jitu luar biasa. Rasa gugupnya tidak langsung pergi, tapi menjadi lebih rendah secara signifikan.
Gw mulai melihat sekeliling, mencari kenyamanan. Nyokap nggak ada di sana (pilihan gw, sih) dan gw nggak bisa lari ke dia juga kalaupun ada. Jadi gw gunakan saja apa yang ada. Sesuatu untuk dipijak dan sesuatu untuk disentuh. Masih dalam posisi duduk, gw memijakkan kedua kaki gw di lantai dan mengelus tekstur bahan sandaran tangan kursi. Tadinya kaki gw nggak berpijak. Gw pendek. Senderan sering berarti kaki gw harus bergelantung di udara. Beberapa detik kemudian, rasa gugup yang tidak perlu dirasakan itu hampir pergi sepenuhnya. Kalau melihat ke belakang, harusnya gw lepas sepatu waktu berpijak. Gw yakin efeknya akan lebih signifikan jika seperti itu.
Hal terakhir yang gw lakukan untuk meredakan rasa cemas, rasa gugup gw adalah mengakui dan menerima realita masa depan jangka pendek gw.
Lo nggak bakal membawakan pidatonya dengan sempurna, gw bilang pada diri gw sendiri. Lo udah mempersiapkan sebaik mungkin, tapi lo kemungkinan akan kecele sedikit dan itu nggak apa-apa. Gw kemudian meyakinkan diri gw bahwa dunia gw tidak akan berakhir kalau gw tidak terpilih. Tidak terpilih bukan berarti gw tidak cukup baik atau gw gagal. Jika tidak terpilih, artinya ini bukan pintu yang Tuhan mau bukakan buat gw. Gw tentunya akan merasa kecewa kalau tidak terpilih, tapi gw pasti akan bangkit lagi dan melanjutkan hidup gw yang indah.
Gugupnya pergi segera setelah gw resapi semua ini dan benar-benar percaya.
Rasa cemas datang ketika kita mau mengendalikan masa depan. Jadi gw berhenti mencoba mengendalikan masa depan dan berusaha mengelola respons gw terhadapnya. Gw isi pikiran gw dengan kenyataan untuk melawan berbagai keyakinan yang tidak rasional. Jangan biarkan rasa gugup menghalangimu. Jangan ragu untuk berbicara tentang berbagai perasaanmu. Regulasi emosi bukan keterampilan yang natural dimiliki semua orang. Pelajari untuk dirimu sendiri, orang-orang tersayang, dan demi kebaikan anak-anakmu suatu hari.
Ketika rasa cemas datang, jangan disuruh pergi. Rasakan dan proses. Jangan pernah menyangkal perasaanmu.
Karina adalah salah satu Co-Founder KALM yang juga berprofesi sebagai Psikolog. Karina juga pernah membahas soal bahaya burnout dan pentingnya self-caredi Channel Youtube KALM.
Mungkin istilah ini terdengar asing, tapi pernahkah KALMers mendengar ada orang yang habis putus dari mantannya yang toxic lalu jadi butuh konseling karenanya? Nah, Post Traumatic Relationship Stre...
Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia, KALMers! Tahu nggak? Menurut polling yang dilakukan oleh Kumparan WOMAN secara online, ternyata 95,4 persen Gen Z setuju kalau menjaga kesehatan mental itu p...
Seiring banyaknya orang yang mulai terbuka tentang pengalamannya ke psikolog atau psikiater jadi salah satu alasan untuk kita mulai menyamakan pergi konseling seperti pergi berobat ke dokter. Mulai...