Nonton Berita Jadi Trauma? (Mengenal Vicarious Trauma)

Description

Pernahkah KALMers menonton sebuah berita mengenai bencana alam atau perang di televisi lalu merasa takut? Atau secara tidak sengaja melihat video mengenai serangan terorisme di media sosial dan menjadi cemas?

Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, kita dapat dengan mudah terpapar berita mengenai berbagai tragedi hingga kekerasan. Kecelakaan pesawat, bencana alam, serangan terorisme, hingga kasus kekerasan seksual dapat dengan mudah kita temui di media sosial secara tidak sengaja. Meskipun tidak terlibat secara langsung, hanya dengan menyaksikan peristiwa tersebut lewat layar kaca, akan ada dari kita yang rasa terpicu rasa takut, khawatir, dan trauma karenanya.

Pengertian Secondary Traumatic Stress/Vicarious Trauma

Secondary Traumatic Stress atau Vicarious Trauma merupakan istilah yang merujuk pada trauma tidak langsung yang terjadi ketika seseorang dihadapkan pada cerita pengalaman trauma orang lain secara langsung. Hal ini bisa terjadi hanya dengan melihat berita di televisi, menjadi saksi mata kejadian, atau mendengarkan kisah traumatis secara mendetail dari orang lain.

Dulu Secondary Traumatic Stress atau Vicarious Trauma ini biasa terjadi pada orang-orang yang bekerja di bidang yang memiliki faktor resiko terpapar kejadian traumatis yang tinggi seperti dokter, perawat, pekerja sosial, regu penyelamat, dan praktisi kesehatan mental. Namun dengan kemudahan mengakses informasi saat ini, hal tersebut bisa terjadi pada siapa pun. Sebuah penelitian menemukan bahwa seseorang yang terpapar kejadian traumatis hanya melalui media pun menunjukkan setidaknya satu gejala Secondary Traumatic Stress (Comstock & Platania, 2017). ­Hal ini menunjukkan bahwa menyaksikan peristiwa traumatis dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan mental kita.

Salah satu gejala yang identik dengan Secondary Traumatic Stress adalah pikiran yang terganggu. Ketika seseorang melihat berita mengenai kejadian traumatis, ia akan selalu terbayang-bayang dan sulit melupakannya. Berita mengenai Covid-19 secara terus-menerus misalnya dapat meningkatkan kecemasan berkaitan masalah kesehatan, atau pemberitaan mengenai terorisme yang membuat orang merasa takut dan cemas berada di tempat umum.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Setelah mengetahui dampak negatif dari pemberitaan baik di televisi maupun media sosial, KALMers mungkin jadi bertanya-tanya, apa yang bisa dilakukan? Mengingat hal tersebut dapat kita lihat tanpa sengaja saat kita menonton televisi maupun bermain media sosial.

Beberapa hal berikut mungkin dapat dilakukan agar kita tidak terpapar berita mengenai peristiwa traumatis terlalu banyak:

1.      Pilih Tontonan Berita Dengan Bijak

Beberapa stasiun televisi mungkin memberitakan setiap tragedi dan kekerasan secara mendetail, maka hindarilah stasiun tersebut. Pilihlah media pemberitaan yang tidak terlalu menunjukkan detail peristiwa tetapi tetap memberikan informasi yang akurat. Selain itu, berita yang ditayangkan pada tengah malam cenderung menayangkan tema peristiwa yang sensitif dan memuat kekerasan. Lebih baik untuk menjauhinya jika hal tersebut membuat kita tidak nyaman.

2.      Hindari Pemberitaan Yang Ditayangkan Secara Langsung

Breaking news biasanya ditayangkan di saat yang mendesak dan penting sehingga ditampilkan secara langsung. Breaking news mengenai penangkapan terduga teroris misalnya, akan sulit untuk menghindari muatan kekerasan di sana. Jika hal tersebut membuat kita merasa gelisah, lebih baik untuk tidak menontonnya.

3.      Mute Word Atau Blokir Akun Yang Dengan Konten Sensitif

Beberapa media sosial seperti Twitter dan Instagram menyediakan fitur mute dan blokir untuk menghindari akun dan konten yang terlalu sensitif dan membuat seseorang tidak nyaman. Gunakan fitur tersebut untuk melindungi diri agar dapat bermedia sosial dengan nyaman.

Jika Sudah Muncul Gejala Secondary Traumatic Stress, Apa yang Bisa Dilakukan?

Perasaan cemas hingga mengganggu pikiran, takut, kesulitan tidur, mimpi buruk, suasana hati kacau, merasa tertekan saat memikirkan suatu tragedi adalah gejala-gejala yang bisa saja muncul setelah kita terpapar berita atau media yang traumatis.

Jika hal tersebut terjadi rehat dari tayangan televisi dan media sosial mungkin adalah pilihan yang tepat. Cobalah untuk melakukan aktivitas positif yang menghibur seperti membaca buku, olahraga, atau bertemu teman. Melakukan aktivitas yang menyenangkan dan menghabiskan waktu dengan orang terdekat adalah salah satu cara healing dari rasa trauma.

Ketahuilah bahwa apa yang kamu rasakan itu valid. Jangan ragu untuk mendiskusikan apa yang kamu alami dan rasakan pada psikolog jika kamu membutuhkannya. Kalau kamu ingin tahu proses konseling itu seperti apa, kamu bisa membacanya di artikel Konseling itu Kayak Gimana, Ya? Kamu juga bisa membaca Crow: Cosplay, Gangguan Kecemasan Dan Konseling dan Mohammad Rizqi: Pejuang Bipolar Disorder tentang pengalaman proses konseling mereka.

Kalau kamu ingin mencoba konseling kamu bisa mencobanya melalui aplikasi KALM yang hadir untuk memudahkan KALMers berkonsultasi mengenai kesehatan mental dengan para Kalmselor professional. Download Aplikasi KALM di link ini dan kamu bisa memilih Kalmselor yang cocok denganmu.

Penulis: Rachma Fitrianing Lestari

Editor: Lukas Limanjaya

Daftar Pustaka:

Comstock, C., Platania, J. (2017). The role of media-induced secondary traumatic stress on perceptions of distress. American International Journal of Social Science, 6(1). https://docs.rwu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1252&context=fcas_fp

 

Baca Artikel Lainnya

Pertanda Kamu Mengalami Post Traumatic Relationship Stress

Mungkin istilah ini terdengar asing, tapi pernahkah KALMers mendengar ada orang yang habis putus dari mantannya yang toxic lalu jadi butuh konseling karenanya? Nah, Post Traumatic Relationship Stre...

World Mental Health Day 2024: Berani Prioritaskan Kesehatan Mental

Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia, KALMers!  Tahu nggak? Menurut polling yang dilakukan oleh Kumparan WOMAN secara online, ternyata 95,4 persen Gen Z setuju kalau menjaga kesehatan mental itu p...

7 Sinyal Seseorang Saat Membutuhkan Konseling

Seiring banyaknya orang yang mulai terbuka tentang pengalamannya ke psikolog atau psikiater jadi salah satu alasan untuk kita mulai menyamakan pergi konseling seperti pergi berobat ke dokter. Mulai...