Salah Kaprah Toxic Positivity: Cek Apakah Perilaku Positifmu Toxic?

Description

KALMers, apakah kamu familiar dengan istilah toxic positivitySejak booming istilah ini kini jadi rawan disalahartikan. Apakah KALMers merasa kini semakin banyak hal positif yang dilabeli toxic positivitypadahal kenyataannya tidak begitu? Awas, bisa jadi itu adalah salah kaprah pemahaman  terhadap toxic positivity itu sendiri. 

Jadi, apa sebenarnya toxic positivity dan mengapa orang mudah mengatakan hal-hal positif seolah toxic? Simak artikel berikut ini!

Toxic Positivity

Toxic positivity adalah istilah yang merujuk pada dorongan untuk selalu melihat masalah dari sisi baik tanpa membiarkan seseorang untuk mengungkapkan apa yang sedang benar-benar dirasakan. Perilaku positif yang toxic mendorong kita mengabaikan emosi yang kita rasakan terkait dengan hal yang terjadi pada kita.

Berikut contoh kalimat yang mengandung unsur perilaku positif yang toxic 

  • “Kamu nggak boleh sedih! Di luar ada banyak orang yang mengalami musibah yang lebih parah dan mereka tetap berusaha.”
  • “Ini nggak seberapa lho, bisa saja nanti terjadi hal yang lebih parah lagi.” 

Tidak ada yang salah dengan bersikap optimis dan melihat sesuatu dari sisi baiknya. Namun, kita harus mengetahui batasan antara bersikap positif dan ‘terpaksa’ bersikap positif dengan cara menekan emosi kita.

Bukan Berarti Semua yang Positif itu Toxic

Belakangan ini toxic positivity menjadi perbincangan yang sangat menarik bagi masyarakat. Terlebih lagi pandemi yang tak kunjung usai memaksa kita untuk stay positive dan tidak memvalidasi kesedihan. Dengan semakin banyak diskusi tentang ini, istilah ini juga semakin rawan disalahartikan. Fenomena yang banyak terjadi di sekitar kita, atau mungkin kita sendiri juga ikut mengalami. Kita menjadi cenderung ‘ragu-ragu’ untuk memberi semangat pada orang lain karena takut dianggap sebagai toxic positivity. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencermati mana yang termasuk toxic dan mana yang termasuk empati. 

Kalimat positif yang toxic bersifat memaksa seseorang untuk selalu berpikiran positif tanpa mempedulikan perasaan orang tersebut. Sebaliknya, empati merupakan kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan oleh orang lain dari sudut pandang orang tersebut. Dilihat dari perbedaan tersebut, kita harus cermat membedakan hal positif yang toxic dan mana yang bukan.

Tidak apa-apa, dan bahkan adalah hal yang baik, untuk memberi semangat kepada orang lain. Apalagi jika orang tersebut memang membutuhkan support kita. Yang perlu diingat adalah sebelum memberi semangat jangan lupa validasi perasaannya terlebih dahulu.

Cara Mencegahnya

Berikut adalah beberapa cara yang dapat kamu lakukan apabila kamu ingin menghindari perilaku positif yang toxic

1. Fokus untuk Mendengarkan

Mendengarkan tanpa penghakiman adalah kunci terlepas dari toxic positivity, KALMers. Saat fokus mendengarkan ceritanya, kamu bisa menjadi lebih berempati dengan apa yang orang lain alami. Dari situlah mungkin kamu bisa menemukan cara untuk membantunya, alih-alih hanya berkata, “Ah gitu doang, kamu harusnya bisa tetap berpikiran positif.”

2. Validasi Emosi Negatif

Nah, setelah mampu berempati kamu akan bisa memvalidasi emosinya. Emosi negatif dapat menyebabkan stres jika tidak dikendalikan, tetapi emosi negatif juga dapat memberikan informasi yang penting. Ketika kamu mengalami hal tidak menyenangkan, kemunculan emosi negatif adalah wajar. Pada situasi ini yang perlu dilakukan adalah mengenali dan memberi kesempatan untuk merasakan apa yang seharusnya dirasakan. Alih-alih langsung menyangkal kesedihan dengan kalimat “Yuk bisa yuk,” coba katakan, “Aku bisa lihat kamu sedang sedih, ya. Nggak papa, wajar, kok.”

3. Konfirmasi & Beri Dukungan

Mengkonfirmasi kembali cerita orang lain setelah ia selesai bercerita dapat memberi kesan bahwa kamu benar-benar peduli dan mendengarkan. Ketika orang lain selesai bercerita tentang kesulitannya coba sampaikan pemahamanmu akan kondisinya dan tanyakan hal apa yang bisa kamu bantu.

Toxic positivity seringkali tidak terlihat, KALMers. Tetapi kita dapat mulai belajar mengenali bentuk perilaku positif yang toxic dan sebaik mungkin berusaha untuk tidak melakukannya maupun mengatakannya pada orang lain. Dengan begitu, kita dapat lebih meluapkan emosi kita secara sehat, baik emosi negatif maupun emosi positif. 

Baca juga: 5 Rekomendasi Lagu ‘Self-Healing’ untuk MenemanimuMengadopsi Spirit Doll Berpotensi Gangguan Jiwa?

Jika kamu butuh pendampingan berkaitan dengan hal ini kamu bisa unduh segera Aplikasi KALM (di sini)! Di aplikasi KALM, kamu dapat berkonsultasi dengan banyak pilihan Kalmselor yang siap menemanimu berproses!

Penulis: Dzulfani S Nisa 

Editor: Rachma Fitria & Lukas Limanjaya

 

Sumber

Cherry, K. (2021, Feb 01). What Is Toxic Positivity? Very Well Mind. Retrieved from https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-positivity-5093958 

Razzeti, G. (2021, July 13). The Antidote to Toxic Positivity. Psychology Today. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-adaptive-mind/202107/the-antidote-toxic-positivity 

Baca Artikel Lainnya

Pertanda Kamu Mengalami Post Traumatic Relationship Stress

Mungkin istilah ini terdengar asing, tapi pernahkah KALMers mendengar ada orang yang habis putus dari mantannya yang toxic lalu jadi butuh konseling karenanya? Nah, Post Traumatic Relationship Stre...

World Mental Health Day 2024: Berani Prioritaskan Kesehatan Mental

Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia, KALMers!  Tahu nggak? Menurut polling yang dilakukan oleh Kumparan WOMAN secara online, ternyata 95,4 persen Gen Z setuju kalau menjaga kesehatan mental itu p...

7 Sinyal Seseorang Saat Membutuhkan Konseling

Seiring banyaknya orang yang mulai terbuka tentang pengalamannya ke psikolog atau psikiater jadi salah satu alasan untuk kita mulai menyamakan pergi konseling seperti pergi berobat ke dokter. Mulai...