KALMers, keluarga merupakan tempat pertama bagi kita yang lahir dan hidup di dunia. Oleh karena itu, sudah semestinya keluarga menjadi tempat untuk berlindung, mendapatkan rasa aman, dan nyaman, serta mendapatkan kasih sayang. Karena sebagian besar hidup kita dihabiskan bersama keluarga, maka wajar jika kita semua ingin memiliki keluarga yang harmonis, hangat, dan suportif.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua orang beruntung berada di keluarga yang saling suportif dan memberikan kasih sayang. Beberapa justru memiliki keluarga yang “toxic”. Hal ini tentunya dapat memengaruhi keharmonisan dan kesejahteraan anggota keluarga yang ada di dalamnya, hingga memunculkan rasa tidak aman, cemas, dan trauma. Hmm, kok bisa ya keluarga malah menjadi sumber trauma? Untuk tahu info lengkapnya, simak artikel ya, KALMers!
Toxic Family mengacu pada kondisi keluarga yang saling menyakiti baik secara fisik, mental, maupun seksual yang berdampak pada kesejahteraan anggota keluarga di dalamnya. Hubungan keluarga yang toxic ini biasanya ditandai dengan adanya perilaku berbahaya, interaksi antar anggota yang buruk, dan manajemen konflik yang tidak efektif. Saat sedang terjadi konflik, keluarga yang toxic akan menggunakan cara yang tidak sehat dalam menyelesaikan masalah.
Beberapa contoh dari perilaku toxic di dalam keluarga di antaranya adalah perilaku mengontrol, menyalahkan, mengkritik, tidak peduli pada perasaan anggota keluarganya yang lain, adanya paksaan untuk memenuhi standar yang tidak realistis, pemberian disiplin yang salah pada anak, adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi, bahkan perilaku kekerasan verbal, emosional, maupun fisik, dan lainnya.
Berikut adalah beberapa tanda ketika seseorang mengalami trauma karena memiliki keluarga yang toxic:
Anak di keluarga toxic yang sering disalahkan akan membuat mereka selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada mereka. Ketika mereka diintimidasi, mereka juga akan percaya bahwa hal tersebut terjadi karena dirinya tidak cukup baik. Jika mereka dibebani atas tuntutan yang tidak dapat dipenuhi, maka mereka juga akan merasa bahwa hal tersebut kegagalan mereka karena tidak bisa menjadi anak yang sempurna.
Perlakuan toxic yang diberikan oleh anggota keluarga akan membuat seseorang merasa terus waspada dan takut pada anggota keluarga tersebut atau pada apa yang akan terjadi padanya. Hal ini membuat orang tersebut tidak bisa merasa tenang dan akan selalu waspada akan bahaya, yang akhirnya membuatnya mengalami gangguan kecemasan. Selain itu, anak yang tumbuh dari keluarga toxic juga cenderung memiliki kesulitan mengidentifikasi rasa cemasnya akibat respons orangtua yang cenderung abai atas emosi anaknya.
Berada di keluarga toxic akan membuat seseorang memiliki pengalaman yang menyakitkan dan traumatis. Meskipun orang tersebut mencoba menghilangkan pengalaman dengan menekan memori yang ada, ingatan justru bisa termanifestasi dalam bentuk lain, seperti suasana mood yang tak terkendali, kesedihan terus menerus, depresi, dan kemarahan yang meledak-ledak. Untuk menghilangkan perasaan tersebut, seseorang mungkin melakukan perilaku yang kompulsif dan adiktif seperti mabuk, mengonsumsi obat terlarang, merokok, makan berlebihan, perilaku seks yang berlebihan, dan lainnya.
Perilaku toxic dari anggota keluarga dapat membuat seseorang takut menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa dikarenakan selama hidup, ia tidak merasakan kehangatan dalam keluarganya. Ia menjadi takut jika dia menjalin hubungan yang serius dengan orang lain, dan memutuskan untuk menikah, pernikahannya akan berakhir sama.
Baca artikel sebelumnya: Lepas dari Toxic Relationship, Memangnya Bisa? dan Jadi Ragu Menjelang Hari Pernikahan, Harus Gimana?
Di beberapa keluarga toxic, orangtua akan mendefinisikan keberhargaan anaknya lewat pencapaian. Ketika seorang anak gagal, orangtua mereka mungkin akan memberikan kritik berlebihan atau bahkan menyalahkan anaknya. Hal ini justru bisa membentuk perilaku self-sabotage pada anak. Alih-alih termotivasi untuk mencapai hal yang lebih tinggi, anak jadi takut mencoba hal baru karena takut membuat kesalahan.
KALMers, jika kamu merasa mengalami apa yang telah dijelaskan di atas, KALM dan Maybelline ingin mengingatkanmu bahwa kamu tidak sendiri. Jangan ragu untuk melakukan konsultasi bersama Kalmselor di aplikasi KALM (unduh di sini), ya!
Dalam rangka mendukung kesadaran kesehatan mental di Indonesia, Maybelline bersama KALM dan Rahasia Gadis bekerja sama menciptakan kampanye BRAVE TOGETHER. Melalui kampanye ini kamu bisa mendapatkan konseling secara gratis bersama Kalmselor di aplikasi KALM dengan menggunakan kode voucher BRAVE-33-33-33-33. Kamu bisa cek di sini: Tutorial Gratis Konseling di Aplikasi KALM Oleh Maybelline Brave Together untuk mengetahui cara menggunakan kode vouchernya, ya!
Berikut beberapa rekomendasi Kalmselor untuk kamu:
Ketahuilah KALMers, jika kamu perlu cerita KALM ada di sini untuk kamu.
Ditulis oleh: Ainan Salsabila
Diedit oleh: Rachma Fitria
Referensi
Eggshell Theraphy. (n.d.). Toxic Family Dynamics and Complex Trauma. https://eggshelltherapy.com/sensitivity-and-childhood-trauma/#The_wound_of_being_too_intense
Faubion, D. (2022). Toxic Family Dynamics: The Signs And How To Cope With Them. https://www.regain.us/advice/family/toxic-family-dynamics-the-signs-and-how-to-cope-with-them/
Ramesh, A. (2022). What is Toxic Family Dynamics. https://www.medindia.net/patients/lifestyleandwellness/how-toxic-family-dynamics-can-affect-a-child.htm#what-is-toxic-family-dynamics
Raypole, C. (2019). When Family Become Toxic. https://www.healthline.com/health/toxic-family